Panas
Beranda / Panas / UMP Ditolak! 5 Juta Buruh Siap Demo Besar-besaran

UMP Ditolak! 5 Juta Buruh Siap Demo Besar-besaran

HIMBAUANPanggung perpolitikan buruh di Indonesia kembali memanas dengan gaung rencana aksi besar yang siap mengguncang stabilitas ekonomi nasional. Presiden Partai Buruh, Said Iqbal, secara tegas mengumumkan akan terjadinya sebuah demonstrasi buruh yang masif, disertai dengan ancaman mogok nasional. Aksi solidaritas pekerja ini dijadwalkan akan pecah pada penghujung bulan ini atau paling lambat awal bulan depan. Misi utama di balik pergerakan ini adalah untuk menyatakan penolakan keras terhadap formula upah baru yang diusulkan oleh Kementerian Ketenagakerjaan untuk penentuan Upah Minimum Provinsi (UMP) dan Upah Minimum Kota (UMK). Formula ini, menurut prediksi serikat pekerja, dinilai jauh dari kata layak dan tidak akan memenuhi ekspektasi peningkatan kesejahteraan yang sangat diharapkan oleh jutaan pekerja di seluruh negeri.

Skala aksi yang direncanakan ini tidak main-main. Menurut Said Iqbal, demonstrasi tersebut akan menjadi manifestasi kekuatan buruh yang melibatkan partisipasi aktif dari kader-kader Partai Buruh, didukung penuh oleh Konfederasi Serikat Pekerja Indonesia (KSPI), serta berbagai entitas yang tergabung dalam Koalisi Serikat Pekerja. Iqbal mengklaim bahwa pergerakan ini akan diikuti oleh tidak kurang dari 5 juta buruh. Mereka berasal dari lebih dari 5 ribu pabrik yang tersebar di seluruh Indonesia, mencakup setidaknya 300 kabupaten/kota dan 38 provinsi. Ancaman serius yang menyertainya adalah “stop produksi” secara serentak, sebuah langkah yang berpotensi melumpuhkan aktivitas ekonomi di banyak sektor. Pernyataan tegas ini disampaikan Iqbal dalam keterangannya kepada publik pada Kamis, 13 November 2025, menyoroti keseriusan dan dampak luas yang bisa timbul dari aksi tersebut.

Inti dari polemik ini terletak pada proyeksi formula kenaikan upah untuk tahun 2026. Said Iqbal mengungkapkan kekhawatiran mendalamnya terkait kemungkinan pemerintah akan menggunakan indeks tertentu dalam rentang 0,2 hingga 0,7. Kekhawatiran ini semakin menguat apabila angka indeks yang diterapkan berada pada batas terendah, yaitu 0,2. Berdasarkan simulasi perhitungan Partai Buruh, jika indeks 0,2 ini benar-benar digunakan, maka kenaikan upah yang akan diterima buruh hanya akan mencapai sekitar 3,65 persen. Iqbal menjelaskan secara rinci bahwa angka 3,65 persen ini merupakan hasil kalkulasi yang mengombinasikan tingkat inflasi sebesar 2,65 persen, ditambah indeks 0,2, yang kemudian dikalikan dengan proyeksi pertumbuhan ekonomi nasional sebesar 5,12 persen. Sebuah kenaikan yang, dalam pandangan serikat pekerja, terlampau kecil untuk menghadapi tantangan ekonomi mendatang.

Dampak dari kenaikan upah sebesar 3,65 persen ini akan terasa sangat berat bagi para pekerja, khususnya di wilayah-wilayah dengan biaya hidup tinggi. Iqbal mencontohkan, jika dikonversikan ke dalam nominal rupiah, kenaikan tersebut diperkirakan hanya akan berkisar antara Rp 100 ribu hingga Rp 200 ribu saja, khususnya bagi pekerja yang berdomisili di wilayah Jakarta, Bogor, Depok, Tangerang, dan Bekasi (Jabodetabek). Angka ini tentu saja jauh dari harapan dan tuntutan Partai Buruh, yang secara konsisten mengusung skema penggunaan indeks tertentu yang lebih tinggi, yakni antara 0,9 sampai 1,4 persen. Tuntutan ini didasarkan pada pertimbangan spesifik mengenai pertumbuhan ekonomi di masing-masing provinsi, yang mencerminkan upaya untuk menciptakan keadilan dalam penetapan upah minimum sesuai dengan kondisi lokal.

Ketidakpuasan terhadap potensi kenaikan upah yang minimalis ini bahkan memicu reaksi keras dari Said Iqbal, yang secara terbuka menyarankan agar Menteri Ketenagakerjaan, Yassierli, sebaiknya mempertimbangkan untuk mundur dari jabatannya. Desakan ini bukan tanpa alasan, melainkan sebagai bentuk penekanan bahwa pemerintah harus serius dalam menjamin kesejahteraan buruh. Iqbal menegaskan, “Angka kompromi dalam mendiskusikan kenaikan upah minimum 2026 tidak boleh kurang dari kenaikan upah minimum tahun lalu sebesar 6,5 persen.” Pernyataan ini menjadi garis merah bagi buruh, menandakan bahwa setiap angka di bawah batas tersebut akan dianggap sebagai kemunduran dalam perjuangan hak-hak pekerja.

Geger! Surat Pemecatan Gus Yahya dari Ketum PBNU Beredar

Sebagai alternatif yang dianggap lebih realistis dan adil, Iqbal memaparkan proyeksi kenaikan upah apabila pemerintah bersedia menggunakan indeks tertentu sebesar 1,0. Dalam skenario ini, kenaikan upah diperkirakan dapat mencapai 7,77 persen, bahkan bisa menyentuh angka tertinggi 8,5 persen. Angka ini dinilai jauh lebih memadai untuk menjaga daya beli pekerja. Lebih lanjut, Iqbal juga menepis dan membantah keras asumsi yang sering kali dilemparkan, yakni bahwa kenaikan upah minimum secara otomatis akan berujung pada gelombang Pemutusan Hubungan Kerja (PHK) di sektor industri. Baginya, argumentasi tersebut cenderung mengaburkan akar masalah yang sebenarnya.

Iqbal menjelaskan dengan gamblang bahwa penyebab utama terjadinya PHK bukanlah terletak pada tuntutan kenaikan upah, melainkan dua faktor fundamental yang telah lama menggerogoti stabilitas ekonomi pekerja dan pengusaha. “Penyebab PHK adalah daya beli masyarakat yang menurun, sebuah konsekuensi pahit dari kebijakan upah murah yang telah berlangsung selama sepuluh tahun pemerintahan sebelumnya,” tegas Iqbal. Dampak dari daya beli yang lemah ini secara langsung menghambat perputaran roda ekonomi dan menurunkan permintaan pasar, yang pada akhirnya memukul sektor produksi. Selain itu, ia menambahkan, faktor kedua adalah adanya regulasi yang justru merugikan para pengusaha, bukan besaran upah minimum itu sendiri. Argumentasi ini menawarkan perspektif berbeda dalam perdebatan klasik mengenai hubungan antara upah pekerja dan keberlangsungan usaha.

Dalam upaya membangun narasi yang lebih komprehensif, Iqbal bahkan mengklaim bahwa indeks tertentu yang saat ini sedang menjadi perdebatan sengit juga merupakan usulan yang berasal dari asosiasi pengusaha. Klaim ini mengindikasikan bahwa ada titik temu atau setidaknya gagasan awal yang pernah disepakati. Namun demikian, Partai Buruh tetap teguh pada tuntutan utamanya, yaitu kenaikan upah sebesar 8,5 persen hingga 10,5 persen untuk tahun depan. Angka ini merepresentasikan target ideal yang diharapkan dapat mengembalikan dan meningkatkan daya beli pekerja secara signifikan, sekaligus menjamin kehidupan yang lebih layak di tengah tantangan ekonomi.

Di sisi lain, pemerintah, melalui Menteri Ketenagakerjaan Yassierli, hingga kini belum mengeluarkan pernyataan resmi mengenai angka pasti indeks tertentu maupun persentase kenaikan upah yang akan ditetapkan. Yassierli menjelaskan bahwa proses pembahasan yang komprehensif masih terus berlangsung. Forum-forum diskusi krusial ini dilaksanakan di tingkat Dewan Pengupahan Nasional, dan juga secara simultan di tingkat Dewan Pengupahan Provinsi. Proses ini melibatkan berbagai pihak terkait, termasuk perwakilan serikat pekerja dan asosiasi pengusaha, dalam upaya mencari titik temu dan rumusan terbaik yang dapat diterima oleh semua elemen.

“Kami terus melakukan dialog sosial secara intensif, mendengarkan dan mendapatkan masukan berharga dari serikat pekerja serta rekan-rekan pengusaha yang tergabung dalam Apindo (Asosiasi Pengusaha Indonesia),” ujar Yassierli dalam konferensi pers yang diselenggarakan di kantornya pada Rabu, 12 November 2025. Dengan nada yang menenangkan, ia menambahkan, “Tunggu saja hasilnya,” mengisyaratkan bahwa keputusan final akan segera diumumkan setelah semua masukan dipertimbangkan secara matang. Pernyataan ini mencerminkan kompleksitas dan kehati-hatian pemerintah dalam merumuskan kebijakan yang berdampak langsung pada jutaan pekerja dan ribuan perusahaan di Indonesia.

Sumber: Kompas.com

UMP 2026: Kenapa Pemerintah Belum Umumkan?

Facebook Comments Box

POPULER





November 2025
SSRKJSM
 12
3456789
10111213141516
17181920212223
24252627282930
×
×