HIMBAUAN – 
Dhaka, Bangladesh – Sebuah putusan monumental telah mengguncang panggung politik Bangladesh. Mantan Perdana Menteri Bangladesh, Sheikh Hasina, telah dinyatakan bersalah atas kejahatan terhadap kemanusiaan dan dijatuhi hukuman mati. Keputusan ini dikeluarkan oleh pengadilan khusus yang dibentuk untuk mengadili kasus-kasus sensitif dengan implikasi politik yang mendalam, menyulut kembali ketegangan di negara Asia Selatan tersebut.
Pengadilan khusus tersebut menetapkan bahwa Hasina memikul tanggung jawab atas instruksi penindasan yang brutal terhadap gelombang protes yang dipimpin oleh mahasiswa pada tahun lalu. Aksi protes massal ini, yang berawal dari ketidakpuasan mendalam, telah mencatat korban jiwa yang tragis. Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) memperkirakan bahwa jumlah korban tewas mencapai angka 1.400 orang, di mana sebagian besar kehilangan nyawa akibat tembakan yang dilepaskan oleh pasukan keamanan negara.
Persidangan yang menjerat Sheikh Hasina ini dilaksanakan secara in absentia, atau tanpa kehadiran terdakwa. Pasalnya, Hasina saat ini berada di India, sebuah negara tetangga yang menjadi tempat ia mencari perlindungan sejak dirinya dipaksa mundur dari tampuk kekuasaan. Keberadaannya di luar negeri menjadi salah satu faktor yang memperumit proses hukum dan menambah dimensi kontroversial pada vonis tersebut.
Dalam komentar eksklusifnya kepada BBC pekan lalu, Sheikh Hasina dengan tegas menggambarkan proses peradilan yang berlangsung tanpa kehadirannya sebagai “pengadilan kanguru”. Ungkapan ini merefleksikan pandangannya yang menganggap persidangan tersebut tidak sah dan bermotif politik, jauh dari prinsip-prinsip keadilan yang seharusnya dijunjung tinggi.
Menyusul pengumuman putusan hukuman mati ini, aparat keamanan telah meningkatkan kewaspadaan dan memperketat penjagaan di seluruh wilayah Bangladesh. Langkah ini diambil di tengah kekhawatiran serius akan potensi reaksi balik dari masyarakat dan pendukung Hasina. Sejak pagi waktu setempat, beberapa demonstrasi dilaporkan telah meletus di berbagai titik, menandakan dimulainya gelombang ketidakpuasan baru yang bisa memicu instabilitas lebih lanjut.
Reaksi Keras Sheikh Hasina Terhadap Putusan
Melalui sebuah surat elektronik yang dikirimkan kepada BBC pekan lalu, Sheikh Hasina memberikan tanggapan keras terhadap persidangan in absentia-nya. Ia melabeli proses hukum tersebut sebagai “komedi” yang sengaja dipertunjukkan oleh “pengadilan boneka” yang, menurutnya, berada di bawah kendali penuh lawan-lawan politiknya. Komentar ini menyoroti tuduhan bahwa peradilan terhadapnya sarat dengan intervensi politik dan kurangnya independensi.
Hasina didakwa secara pribadi telah memerintahkan pasukan keamanan untuk menembaki demonstran dalam beberapa minggu sebelum ia akhirnya melarikan diri dari Bangladesh. Namun, ia “secara tegas” membantah tuduhan tersebut. Dalam pembelaan tertulisnya, Hasina menyatakan, “Saya tidak membantah bahwa situasi menjadi tidak terkendali, atau bahwa banyak nyawa hilang secara sia-sia. Tapi saya tidak pernah mengeluarkan perintah untuk menembak warga sipil yang tidak bersenjata.” Pernyataan ini menunjukkan penerimaannya terhadap kekacauan yang terjadi, namun menolak pertanggungjawaban langsung atas tindakan penembakan massal.
Akar Masalah Protes Besar-besaran di Bangladesh
Pemicu utama protes mematikan yang melanda Bangladesh tahun lalu adalah kemarahan mendalam dari kalangan anak muda terhadap cara pemerintah mengelola dan mendistribusikan lapangan pekerjaan. Sejak kemerdekaan Bangladesh dari Pakistan pada tahun 1971, sebuah sistem telah diberlakukan di mana 30% dari seluruh posisi Aparatur Sipil Negara (ASN) disisihkan untuk para veteran perang dan, yang lebih signifikan, untuk keturunan mereka.
Namun, seiring berjalannya waktu, sistem kuota ini mulai menimbulkan keresahan. Pada tahun 2024, ribuan pekerjaan dilaporkan diberikan kepada individu berdasarkan garis keturunan mereka, bukan berdasarkan meritokrasi atau prestasi. Dalam praktiknya, penerima manfaat dari sistem ini seringkali diidentifikasi sebagai pendukung setia Sheikh Hasina dan partainya, Liga Awami. Bagi para mahasiswa dan lulusan muda yang tengah menghadapi tingkat pengangguran yang sangat tinggi, sistem kuota ini bukan lagi dilihat sebagai penghargaan atas patriotisme, melainkan sebagai simbol nepotisme yang merajalela di kalangan elit Bangladesh.
Baca juga:
- Bagaimana demonstrasi di Bangladesh mengakhiri 15 tahun pemerintahan Sheikh Hasina
- Bagaimana demonstrasi di Bangladesh berubah menjadi kerusuhan mematikan
- Muhammad Yunus, peraih Nobel berjuluk ‘bankir kaum miskin’ yang kini memimpin Bangladesh
Pasca pengambilalihan kekuasaan oleh pemerintah interim, salah satu langkah signifikan yang dilakukan adalah pengurangan drastis sistem kuota tersebut. Kini, hanya 5% dari jabatan pemerintah yang dialokasikan untuk keturunan veteran perang, sebuah perubahan yang diharapkan dapat meredakan ketegangan dan memberikan kesempatan yang lebih adil bagi semua warga negara.
Di bawah kepemimpinan baru, Muhammad Yunus, Bangladesh telah menunjukkan sedikit stabilisasi ekonomi. Yunus berhasil meningkatkan cadangan devisa negara dan mendapatkan pinjaman vital dari Dana Moneter Internasional (IMF), memberikan harapan bagi perbaikan kondisi ekonomi. Kendati demikian, Bangladesh, yang dikenal sebagai salah satu produsen pakaian terbesar di dunia, sangat membutuhkan investasi asing yang lebih besar untuk memulihkan ekonominya yang masih rapuh. Situasi ini tentu saja tidak akan terwujud selama kekerasan dan ketidakstabilan politik terus berlanjut, menghalangi masuknya modal dan kepercayaan investor.
Siapa Sebenarnya Sheikh Hasina?
Sheikh Hasina merupakan salah satu tokoh paling dominan dalam sejarah politik Bangladesh, menjabat sebagai perdana menteri terlama. Perjalanan politiknya dimulai sebagai ikon pro-demokrasi pada tahun 1980-an, di mana ia bergabung dengan berbagai partai politik untuk menentang pemerintahan militer yang represif. Kesuksesan awalnya membawanya terpilih sebagai perdana menteri pertama kali pada tahun 1996, menandai era baru dalam sejarah negara tersebut.
Namun, periode keduanya, yang dimulai pada tahun 2009, diwarnai dengan berbagai kontroversi yang mencoreng reputasinya. Era ini diselimuti oleh tuduhan pembunuhan di luar proses hukum, penghilangan paksa, dan penindasan yang sistematis terhadap oposisi politik. Situasi ini menunjukkan sebuah perubahan drastis bagi seorang pemimpin yang dulunya berjuang mati-matian untuk mewujudkan demokrasi multipartai, memunculkan pertanyaan tentang nilai-nilai yang ia anut.
Hasina sendiri menyebut insiden pembunuhan selama demonstrasi anti-pemerintah tahun lalu sebagai “tragis”. Namun, ia tetap secara tegas membantah tuduhan bahwa dirinya secara pribadi memerintahkan pasukan keamanan untuk menembaki para demonstran dalam beberapa minggu sebelum ia melarikan diri dari negara itu.

Silsilah politik Sheikh Hasina sangat kuat. Ia adalah putri dari Sheikh Mujibur Rahman, sosok pahlawan nasional yang memimpin Bangladesh menuju kemerdekaan dari Pakistan pada tahun 1971 dan kemudian menjadi presiden pertama negara tersebut. Namun, tragedi menimpa keluarganya pada tahun 1975, ketika ayahnya dibunuh bersama sebagian besar anggota keluarganya dalam sebuah kudeta militer. Hanya Hasina dan adik perempuannya, Sheikh Rehana, yang selamat dari pembantaian tersebut karena kebetulan mereka berada di luar negeri pada saat kejadian.
Sebagai seorang politikus, Hasina dikenal karena ketangkasan dan kemampuan bertahannya yang luar biasa. Ia berhasil melewati berbagai penangkapan saat berada di posisi oposisi dan selamat dari beberapa upaya pembunuhan yang mengancam nyawanya. Meskipun demikian, vonis bersalah yang dijatuhkan hari ini akan secara signifikan memangkas peluangnya untuk kembali ke panggung politik Bangladesh atau bahkan untuk kembali ke negaranya dalam waktu dekat, menandai titik balik yang krusial dalam karier panjangnya.
Mencari Perlindungan di India: Kisah Berulang
Pada tanggal 5 Agustus 2024, sebuah pesawat militer yang membawa Sheikh Hasina mendarat di Pangkalan Udara Hindon di Ghaziabad, India, saat ia melarikan diri dari gelombang protes besar-besaran yang memporak-porandakan Bangladesh. Kedatangan ini menandai dimulainya babak baru tempat perlindungan yang sudah tidak asing lagi baginya, di negara yang telah berkali-kali memberikan bantuan di masa-masa sulit.
Sekitar lima dekade sebelumnya, sejarah seolah terulang. Hasina tiba di India bersama saudarinya setelah ayah mereka, Presiden Pertama Bangladesh, Sheikh Mujibur Rahman, dibunuh bersama sebagian besar keluarganya dalam kudeta militer pada tahun 1975. Tragedi tersebut membuat mereka kehilangan segalanya dan membutuhkan tempat yang aman untuk bernaung.

Kedua saudari itu sedang menikmati liburan di luar negeri ketika pembunuhan brutal tersebut terjadi. Tanpa adanya tempat yang aman untuk kembali, mereka beralih meminta bantuan kepada India, sekutu kunci Bangladesh selama Perang Kemerdekaan tahun 1971 melawan Pakistan. India, yang memiliki hubungan historis yang erat dengan Bangladesh, kembali menunjukkan perannya sebagai tempat perlindungan.
Hasina kemudian diberikan suaka politik oleh Perdana Menteri India saat itu, Indira Gandhi. Selama hampir enam tahun, ia bersama anak-anaknya, suaminya, dan saudarinya, tinggal di Delhi di lokasi mewah Pandara Road, menggunakan identitas palsu demi keamanan mereka. Selama periode pengasingan ini, Hasina berhasil menjalin hubungan politik yang kuat dengan para pemimpin India, sebuah fondasi penting sebelum akhirnya ia kembali ke Bangladesh dan terjun ke arena politik secara mandiri, membangun kembali kariernya yang gemilang hingga mencapai puncak kekuasaan.
Artikel ini akan terus diperbarui seiring dengan perkembangan informasi terbaru.


