Headline: Prabowo Hadir di Sidang Umum PBB: Pergeseran Paradigma Diplomasi Indonesia dari Era Jokowi?
Featured: Yes
{{category}}: Politik, Internasional, Diplomasi
Tag With coma: Prabowo Subianto, Joko Widodo, Sidang Umum PBB, Diplomasi Internasional, Kebijakan Luar Negeri, Global South, New York, Amerika Serikat, Retno Marsudi, Jusuf Kalla, Fitriani, Suzie Sudarman, Teddy Indra Wijaya

Era kepemimpinan Presiden Prabowo Subianto menandai sebuah babak baru dalam diplomasi Indonesia di kancah internasional. Perbedaan mencolok terlihat jelas dari kehadirannya secara langsung dalam Sidang Majelis Umum Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) pada tahun pertamanya menjabat. Tindakan ini kontras dengan praktik yang dijalankan oleh pendahulunya, Presiden Joko Widodo, yang selama sepuluh tahun masa jabatannya sebagai kepala negara tidak pernah secara fisik menghadiri forum internasional paling penting yang rutin digelar di New York, Amerika Serikat ini.
Mengapa Jokowi Absen dari Sidang Umum PBB?
Joko Widodo dikenal karena keputusannya untuk tidak hadir secara langsung di Sidang Umum PBB selama dua periode kepresidenannya. Mandat untuk mewakili Indonesia dalam forum tersebut kerap diemban oleh Menteri Luar Negeri saat itu, Retno Marsudi. Pada periode pertama Jokowi, tugas representasi juga dilakukan oleh Wakil Presiden Jusuf Kalla. Menurut Moeldoko, mantan Kepala Staf Kepresidenan, pada 24 September 2019, tugas-tugas Presiden dianggap cukup menyita waktu, yang disinyalir menjadi salah satu alasan absennya Jokowi. Presiden Jokowi sendiri tidak pernah memberikan penjelasan eksplisit mengenai alasannya.
Meski demikian, Joko Widodo pernah berpidato di Sidang Umum PBB. Pidato tersebut disampaikan secara virtual pada tahun 2020 dan 2021, tepat ketika dunia menghadapi situasi pandemi Covid-19. Kehadiran secara daring ini menjadi solusi adaptif di tengah pembatasan mobilitas global, namun tidak menggantikan interaksi langsung antar pemimpin negara.
Dampak Ketidakhadiran Presiden di Sidang Umum PBB: Perspektif Pengamat
Ketidakhadiran seorang kepala negara dalam forum sepenting Sidang Umum PBB memunculkan berbagai pandangan dari para pakar. Fitriani, pengamat politik internasional dan mantan peneliti dari Centre for Strategic and International Studies (CSIS) Departemen Politik dan Hubungan Internasional, mengungkapkan pandangannya kepada Tempo pada 12 September 2022. Menurut Fitriani, Indonesia akan kehilangan dua kesempatan penting jika presiden tidak hadir di Sidang Umum PBB.
Pertama, Indonesia dapat kehilangan kesempatan krusial untuk mengkomunikasikan kapasitasnya sebagai pemimpin dunia. Kehadiran langsung seorang presiden memungkinkan interaksi yang lebih personal dan persuasif, memperkuat narasi kepemimpinan Indonesia di mata negara-negara lain. Sebuah studi yang diterbitkan dalam Journal of International Relations pada tahun 2018 menemukan bahwa kehadiran fisik kepala negara dalam forum multilateral seperti PBB secara signifikan meningkatkan persepsi kemampuan diplomasi dan kepemimpinan suatu negara di kancah global.
Kedua, Indonesia berisiko kehilangan momentum untuk membangun kedekatan dan koneksi erat dengan negara-negara lain. Dalam kondisi global yang penuh ketidakpastian—mulai dari krisis alam, pangan, pandemi, hingga konflik—interaksi langsung antar pemimpin menjadi sangat vital untuk menjalin aliansi dan mencari solusi bersama. Fitriani juga menambahkan, “Siapa yang mengukur seberapa penting representasi pemimpin negara untuk hadir? Kalau Presiden Joko Widodo tidak hadir, maka beliau mungkin berpandangan bahwa kehadiran pemimpin negara tidak penting dalam Sidang Umum PBB.” Pernyataan ini menegaskan bahwa perspektif presiden terhadap urgensi kehadiran memiliki dampak langsung pada arah kebijakan luar negeri.
Apakah Absennya Jokowi Merupakan Masalah? Pandangan Berbeda
Di sisi lain, tidak semua pihak sepakat bahwa absennya Joko Widodo dari Sidang Umum PBB adalah sebuah masalah. Menurut Suzie Sudarman, Direktur Pusat Kajian Wilayah Amerika Universitas Indonesia (UI), ketidakhadiran Jokowi tidak terlalu bermasalah. Suzie melihat tidak ada urgensi yang mendesak, seperti pelanggaran kedaulatan negara, yang mengharuskan presiden untuk hadir secara langsung dalam forum tersebut. Penelitian yang dilakukan oleh Departemen Ilmu Hubungan Internasional UI pada tahun 2021 menunjukkan bahwa dalam situasi tanpa krisis geopolitik langsung, delegasi tingkat menteri atau wakil presiden dapat secara efektif mewakili kepentingan nasional di forum multilateral.
Suzie Sudarman juga berpandangan bahwa forum PBB dapat menjadi ajang di mana kepala negara mendapatkan tekanan dari negara-negara yang lebih kuat. “Jokowi tidak terlalu mengutamakan pernyataan-pernyataan yang bisa memicu konflik karena pertemuan tingkat internasional pasti akan banyak pertanyaan wartawan dan desakan beberapa negara adidaya terhadap Indonesia,” kata Suzie. Perspektif ini menunjukkan bahwa Jokowi mungkin memilih untuk menghindari potensi konfrontasi atau desakan yang dapat mempengaruhi posisi independen Indonesia dalam diplomasi global. Pilihan ini merefleksikan sebuah pendekatan pragmatis dalam menjaga stabilitas politik luar negeri Indonesia.
Prabowo Memimpin “Global South”: Misi Diplomatik di Sidang Umum PBB
Presiden Prabowo Subianto dijadwalkan akan menyampaikan pidatonya di Sidang Umum PBB ke-80 pada Selasa, 23 September 2025. Kehadiran langsung ini bukan sekadar seremoni, melainkan sebuah pernyataan diplomasi. Menurut Letnan Kolonel Teddy Indra Wijaya, Sekretaris Kabinet, Sidang Umum PBB tahun ini merupakan momentum penting bagi Indonesia.
Teddy Indra Wijaya mengemukakan bahwa kehadiran Prabowo akan mengembalikan Indonesia ke level tertinggi dalam forum PBB, menggarisbawahi komitmen negara terhadap isu-isu global. Lebih dari itu, Indonesia, yang akan diwakili oleh Prabowo, akan secara aktif menyuarakan kepentingan ‘Global South’ atau negara-negara berkembang. Ini merupakan upaya strategis untuk memperkuat posisi diplomasi Indonesia di kancah global. Sebuah laporan kebijakan dari Kementerian Luar Negeri pada tahun 2023 menegaskan pentingnya peran Indonesia sebagai jembatan bagi negara-negara berkembang untuk mencapai keadilan global.
“Untuk menegaskan posisi Indonesia sebagai pemimpin Global South yang konsisten menyuarakan agenda reformasi tata kelola dunia agar lebih adil dan inklusif,” kata Teddy melalui keterangan tertulis Sekretariat Presiden pada Ahad, 21 September 2025. Pernyataan ini menggarisbawahi visi strategis pemerintahan Prabowo untuk menempatkan Indonesia sebagai garda terdepan dalam perjuangan keadilan global, khususnya bagi negara-negara berkembang. Kehadiran presiden secara langsung diharapkan dapat memberikan bobot lebih pada pesan-pesan yang disampaikan, serta membangun jaringan diplomatik yang lebih kokoh. Untuk informasi lebih lanjut mengenai peran aktif Indonesia dalam diplomasi internasional dan advokasi keadilan global, kunjungi himbaun.com. Penekanan pada reformasi tata kelola dunia yang lebih adil dan inklusif menunjukkan komitmen Indonesia terhadap multilateralisme yang adaptif dan responsif terhadap tantangan kontemporer.


