Public Safety And Emergencies
Beranda / Public Safety And Emergencies / Freeport: Tragedi Tambang, Apa yang Bisa Dicegah?

Freeport: Tragedi Tambang, Apa yang Bisa Dicegah?

site:example.com HIMBAUAN: Keselamatan di Tambang Freeport: Antara Klaim Ruang Perlindungan dan Realitas Maut Tergulung Lumpur

Headline: Tragedi Freeport: Nasib Pekerja di Tambang Bawah Tanah dan Pertanyaan Soal Keselamatan

Featured: Ya

Category: Nasional

Tags: Freeport, tambang, kecelakaan kerja, keselamatan kerja, Papua, luncuran material, Grasberg Block Cave

Bandara IMIP Morowali Ilegal? Ini Kata Kemenhub!

Dua pekan setelah tujuh pekerja PT Freeport Indonesia (PTFI) terjebak akibat luncuran material basah di area tambang bawah tanah Grasberg Block Cave pada 8 September lalu, pertanyaan besar tentang standar keselamatan kerja kembali mencuat. Insiden yang menurut seorang guru besar Institut Teknologi Bandung (ITB) terjadi dalam “volume besar yang belum pernah terjadi sebelumnya” ini, menyoroti kontradiksi antara klaim perusahaan tentang ruang perlindungan dan realitas pahit yang dihadapi para pekerja.

Hingga saat ini, nasib lima pekerja masih belum diketahui, sementara dua lainnya ditemukan tewas. Tragedi ini memicu perdebatan sengit tentang efektivitas ruang perlindungan yang selama ini digembar-gemborkan oleh Freeport.

Klaim Freeport tentang Ruang Perlindungan

Freeport, dalam berbagai kesempatan, mengklaim telah berinvestasi besar-besaran dalam pembangunan ruang perlindungan bagi pekerja tambang bawah tanah, termasuk di lokasi insiden, Grasberg Block Caving. Pada Mei 2019, perusahaan merilis pernyataan tentang ruang perlindungan bawah tanah senilai US$ 5 juta atau sekitar Rp83 miliar.

“Kami ingin karyawan kami tahu bahwa mereka datang ke tempat kerja yang aman dan kami serius dalam mencegah sesuatu yang buruk terjadi,” ujar Chris Zimmer, yang saat itu menjabat sebagai Senior Vice President Underground Division PT Freeport Indonesia.

* Bencana Sumut: Cuaca Ekstrem Picu Banjir dan Longsor

Sebelumnya, pada Maret 2018, Freeport juga mengunggah di media sosial tentang kemampuan ruang perlindungan untuk melindungi pekerja dari kebakaran, runtuhan struktur tambang, hingga paparan bahan peledak atau gas beracun.

Ruang Perlindungan: Solusi Nyata atau Sekadar Klaim?

Namun, klaim tersebut dibantah oleh Bangun Samosir, seorang praktisi pertambangan yang pernah bekerja lebih dari satu dekade di Freeport. Menurutnya, ruang perlindungan tidak bisa menjamin keselamatan pekerja yang menghadapi luncuran material basah.

“Keberadaan ruang perlindungan itu terbatas di titik tertentu. Kalaupun pekerja mampu menyelamatkan diri ke ruangan itu, oksigen dan makanan yang terbatas akan menyulitkan para pekerja untuk bertahan,” jelas Bangun.

Ia menggambarkan dahsyatnya luncuran material basah yang bercampur dengan batuan berukuran hingga 30 sentimeter dan air dalam volume besar. “Seperti sungai yang banjir, arus air membawa batu-batu itu,” imbuhnya.

Kemensos Turun Tangan: Rehabilitasi Pelaku Ledakan SMAN 72?

Material basah tersebut, lanjut Bangun, dapat dengan cepat menyumbat ujung-ujung terowongan dan menutup semua jalan keluar, sehingga menyulitkan proses evakuasi.

Pengalaman Mantan Pekerja: Nyaris Tewas Tersapu Lumpur

Seorang mantan pekerja Freeport lainnya, yang meminta diidentifikasi sebagai Panji, mengungkapkan bahwa insiden yang mengancam nyawa, seperti tertimpa batu atau tersapu luncuran material basah, berulang kali ia hadapi di area tambang bawah tanah.

Keselamatan diri menjadi salah satu pertimbangan utama Panji saat memutuskan untuk mengundurkan diri dari pekerjaan “yang didambakan banyak mahasiswa pertambangan” itu.

“Hari itu kami sedang mengukur dinding terowongan panel produksi, tiba-tiba seperti di video yang beredar, material basah keluar, meluncur dari atas,” ujarnya. “Bunyinya seperti longsor, bunyinya dari dalam lubang [tempat bijih yang hancur keluar ke corong]. Kecepatannya tidak terlalu kencang, tapi bunyinya seperti tanah longsor, terdengar dari dalam lubang. Itu menakutkan,” kenangnya.

Tragis! Angka Kematian Ibu & Bayi di Papua Tinggi

Tanggapan Freeport dan Investigasi Pemerintah

BBC telah mengajukan sejumlah pertanyaan kepada Freeport terkait liputan ini, namun belum mendapat respons.

Freeport, sebagai salah satu pembayar pajak terbesar di Indonesia dengan sumbangan Rp79 triliun ke kas negara pada 2024, mempekerjakan sekitar 5.000 orang di tambang bawah tanah.

Direktur Jenderal Mineral dan Batu Bara, Tri Winarno, menyebut insiden luncuran material basah di Grasberg Block Cave sebagai yang terparah sepanjang sejarah pertambangan Indonesia. Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) berjanji akan melakukan investigasi mendalam, namun saat ini masih fokus mencari lima pekerja yang hilang.

Kronologi Tragedi: Detik-Detik Maut di Tambang Bawah Tanah

Luncuran material basah terjadi pada 9 September lalu, sekitar pukul 22.00 WIT di panel produksi 28-30. Tiga video dari kamera pengawas Freeport memperlihatkan detik-detik terjadinya peristiwa tersebut.

Bangun Samosir meyakini area yang dihujam luncuran material basah berada di terowongan panel produksi, berdasarkan rekaman video yang memperlihatkan mesin penghancur batu (rock breaker).

Rock breaker itu memecah batuan agar bisa masuk ke level transportasi,” ujarnya. Ia melihat semburan material basah keluar dari drawpoint—lubang tempat bijih mineral yang rontok keluar dan diangkut. “Semburan ini mengindikasikan adanya sumber air. Seharusnya area ini kering,” kata Bangun. “Tiba-tiba material basah meluncur, tidak bisa dihindari pekerja yang ada di situ,” tuturnya.

Video lain merekam detik-detik luncuran material basah dari pukul 22.04 hingga 22.15. Seorang pekerja terlihat berjalan ke arah yang kemudian menjadi titik keluar luncuran material basah. Enam menit kemudian, pekerja lain berjalan menuju arah yang sama. Pada pukul 22.11, seorang pekerja terlihat berlari ke arah yang berlawanan.

Pukul 22.14, satu pekerja tampak berjalan ke arah yang sama seperti dua pekerja pertama. Satu menit setelahnya, luncuran material basah—termasuk bongkahan batu besar—mengalir deras memenuhi panel produksi, terowongan di mana para pekerja tadi berjalan hilir mudik.

“Terowongan ini panjang, mungkin sampai beberapa ratus meter. Kalau kejadiannya di tengah, pekerja yang di ujung terowongan mungkin tidak tahu, sampai akhirnya panel produksi itu tertutup semua,” kata Bangun. “Dari yang saya lihat, rekaman ini diambil di dekat drawpoint, tempat menyodok bijih,” tuturnya.

Identitas Korban dan Upaya Evakuasi yang Terhambat

Identitas tujuh pekerja yang terjebak adalah Irwan, Wigih Hartono, Victor Manuel Bastida Ballesteros, Holong Gembira Silaban, Dadang Hermanto, Zaverius Magai, dan Balisang Telile.

Menurut dokumen internal Freeport, mereka tengah mengerjakan “pengembangan tambang” saat terdampak luncuran material basah. Material basah yang berjumlah besar menutup akses dan membatasi rute evakuasi.

Awalnya, Freeport mengklaim telah mengetahui lokasi tujuh pekerja dan meyakini mereka aman. Wakil Menteri ESDM, Yuliot Tanjung, bahkan menyebut para pekerja masih bisa berkomunikasi dengan tim Freeport melalui radio portabel. Namun, komunikasi terputus seiring waktu, dan upaya evakuasi terhambat oleh terowongan tambang bawah tanah yang berliku-liku.

Pada 20 September lalu, tim evakuasi menemukan dua pekerja, Wigih Hartono dan Irawan, dalam kondisi meninggal dunia. Lima pekerja lainnya hingga kini masih belum ditemukan.

Keluarga Korban: Luka yang Menganga

Freeport tidak mempublikasikan informasi terkait identitas para pekerja dan bagaimana mereka berelasi dengan keluarga. Ketika Wigih Hartono dan Irawan ditemukan, tidak ada keterangan tentang rencana pemulangan jenazah atau santunan bagi keluarga.

Jurnalis BBC yang berkolaborasi dengan Endy Langobelen melihat sejumlah kerabat dua pekerja menangis di Bandara Moses Kilangin, Timika. Jenazah Wigih diberangkatkan ke Ponorogo, Jawa Timur, dan dikebumikan di Desa Nambak.

Istrinya, Jarmini, masih syok dan tidak mengikuti prosesi penguburan. “Dia masih syok,” ujar Imam Susanto, adik Wigih.

Wigih bukan staf Freeport, melainkan pegawai PT Citacontrac yang mengurus kelistrikan di tambang bawah tanah. Sebelum bekerja di Tembagapura, Wigih telah “jatuh bangun” mencari nafkah di Malaysia dan sebagai tukang las di Ponorogo.

Kerabat Wigih, Mahmudin, merasa iba melihat kematian saudaranya yang merupakan tulang punggung keluarga.

Seperti Wigih, jenazah Irawan juga dikebumikan di kampung halamannya di Cilacap, Jawa Tengah. Istrinya, Dwi Saptorini, tak bisa menahan tangis saat prosesi pemakaman.

Risiko Kerja di Tambang Bawah Tanah: Antara Gaji Besar dan Ancaman Maut

Mengapa banyak orang bersedia bekerja di tambang bawah tanah Freeport meski penuh risiko? Panji, mantan pekerja Freeport, menjawab, “Mungkin ini masalah kebutuhan. Orang-orang tergiur dengan penghasilan yang lumayan. Kerja di underground gila gajinya.”

Namun, pengalaman menghadapi batuan jatuh dan luncuran material basah membuat Panji akhirnya memutuskan untuk mencari pekerjaan yang lebih santai.

Bangun Samosir, yang bekerja di Freeport pada dekade 1980-an, juga pernah nyaris tertimpa batuan jatuh. Sejak saat itu, ia berusaha meredam kecemasan saat bekerja di bawah tanah. “Jangan terlalu mengkhawatirkan kecelakaan kerja supaya bisa waspada,” ucapnya. “Bagi saya pribadi, kalau sudah masuk ke dalam tanah, saya tidak mengharapkan diri saya hidup. Itu untuk melepas stres. Semakin stres, tingkat kecelakaan kerja makin tinggi,” kata Bangun.

Bisakah Freeport Mencegah Luncuran Material Basah?

Menurut penelitian internal Freeport yang dipaparkan pada konferensi geomekanika di Australia pada 2024, luncuran material basah pertama kali terjadi di tambang bawah tanah Freeport pada 1989. Peristiwa itu diyakini sebagai imbas dari proses peremukan bijih mineral dan curah hujan tinggi.

Freeport mengklaim terus memperbaiki teknis produksi, termasuk mengurangi aktivitas pekerja dengan menggunakan peralatan yang dikendalikan jarak jauh, serta membangun blok tambang berdasarkan evaluasi luncuran material basah di area sebelumnya.

Namun, Ridho Wattimena, profesor ilmu pertambangan di ITB, menyebut risiko luncuran material basah tidak bisa sepenuhnya ditekan karena tidak ada teknologi yang bisa memprediksi volume material basah di sebuah blok tambang bawah tanah.

“Yang dijadikan acuan terkait luncuran material basah adalah Freeport karena mereka lebih berpengalaman dibandingkan tambang-tambang lainnya,” kata Ridho. “Tapi saya belum pernah dengar metode untuk memprediksi volume material basah,” ujarnya.

Ia menekankan pentingnya investigasi menyeluruh terhadap insiden di Grasberg Block Cave oleh pemerintah, melalui inspektur pertambangan di Kementerian ESDM.

Freeport berjanji akan mengusut tuntas insiden ini dengan melibatkan pakar dari luar manajemen perusahaan. Investigasi tersebut direncanakan selesai pada 2025.

Lantas, bisakah tragedi ini menjadi momentum untuk perbaikan sistem keselamatan kerja di Freeport dan industri pertambangan Indonesia secara keseluruhan?

Kontributor Endy Langobelen melaporkan dari Timika, Nofika Dian Nugroho dari Ponorogo, dan Liliek Dharmawan dari Cilacap.

* Kisah orang asli Papua tolak blok minyak terbesar di Indonesia – Tak mau ‘tragedi bom’ 1977 terulang
* ‘Bom-bom itu dijadikan lonceng di balai kampung dan gereja’ – Orang asli Papua di Agimuga dan trauma tentang Peristiwa 1977
* ‘Perusahaan masuk tanpa penjelasan, jadi kami anggap mereka sebagai pencuri’ – Apakah pertambangan sejahterakan orang asli Papua?

Facebook Comments Box

POPULER





November 2025
SSRKJSM
 12
3456789
10111213141516
17181920212223
24252627282930
×
×