HIMBAUAN: himbauan.co.id

Kerusuhan di Yalimo Dipicu Isu Rasisme, Rekonsiliasi Jadi Kunci?
Kerusuhan tragis melanda Kabupaten Yalimo, Pegunungan Tengah, pada Selasa (16/09), diduga kuat dipicu oleh lontaran ujaran rasis yang menyasar masyarakat asli Papua. Lebih dari sekadar insiden sporadis, peristiwa ini memicu gelombang keprihatinan dan seruan untuk penyelesaian yang berkeadilan. Tokoh agama di Papua menekankan bahwa pendekatan rekonsiliasi, bukan sekadar tindakan represif aparat keamanan, adalah kunci utama untuk meredam konflik dan mencegah terulangnya kejadian serupa.
Api dan Air Mata di Elelim
Laporan dari Kepolisian Papua menggambarkan situasi mencekam di Elelim, Kabupaten Yalimo, di mana amukan massa membakar lebih dari 30 kios dan rumah. Kobaran api juga melalap enam rumah dinas dan satu mes perwira, meninggalkan puing dan trauma mendalam.
“Satu bangunan SMA rusak dan 13 unit sepeda motor ikut terbakar dalam kerusuhan tersebut,” ungkap Kabid Humas Polda Papua, Kombes Cahyo Sukarnito, pada Rabu (17/09), menggambarkan betapa dahsyatnya amukan massa.
Selain kerugian materiil, kerusuhan ini juga menyebabkan luka-luka fisik. Laporan polisi mencatat 23 orang terluka, termasuk anggota TNI-Polri yang menjadi korban tusukan panah.
“Sementara ada beberapa [korban] yang masih dalam perjalanan evakuasi, baik menuju Wamena maupun Jayapura. Korban dirawat di RSUD Er-Dabi Yalimo, RSUD Wamena, dan RS Bhayangkara Jayapura,” imbuh Cahyo, seperti dikutip Kumparan—media partner BBC News Indonesia.
Trauma dan ketakutan memaksa lebih dari 200 warga non-Papua mengungsi keluar dari Yalimo menuju Kota Wamena, mencari perlindungan dari amuk massa. Namun, sebagian warga lainnya memilih bertahan di Yalimo, diliputi kecemasan dan ketidakpastian.
Kisah Pilu dari Pengungsian
Demi keamanan, beberapa nama narasumber dalam laporan ini telah disamarkan.
‘Kami Lari Keluar Rumah Hanya Bawa Badan Saja’
Camila, seorang ibu muda dengan bayi berusia satu tahun, menceritakan pengalaman pahitnya melarikan diri dari amukan massa. Gemuruh benda keras yang menghantam rumahnya pada Selasa (16/09) siang, membuatnya dan sang bayi terbangun dari tidur. Teriakan-teriakan massa yang menyuruh mereka keluar rumah semakin menambah kepanikan.
“Masa datang dan lempar rumah, [kami] disuruh keluar,” tutur Camila melalui sambungan telepon, Rabu (17/09), dengan nada suara bergetar.
Tanpa berpikir panjang, perempuan asal Jawa ini menyambar beberapa kain dan menyelimuti bayinya, lalu menggendongnya erat-erat. Camila memilih menyelamatkan diri lewat pintu belakang rumah.
“Saya baru keluar dari pintu belakang, asap sudah naik,” ujarnya, menggambarkan bagaimana api dengan cepat melalap rumahnya di Distrik Elelim, Kabupaten Yalimo, Papua Pegunungan. “Sudah terbakar, rata dengan tanah”.
“Begitu kejadian rumah kami terbakar, kami jalan kaki melewati bawah gunung, kita jalan kaki mungkin satu kilometer lebih. Terus kami jalan-lari ke sini kurang lebih itu jam satu siang,” lanjutnya. “Kita lari sembunyi-sembunyi”.
Camila dan bayinya mencari perlindungan di kantor kepolisian setempat, dan kemudian menetap di masjid yang berada di dekatnya sebagai lokasi pengungsian. Di sana, ia bersama puluhan perantau lainnya bermalam dengan kecemasan yang menyelimuti.
“Kami juga ini lari keluar dari rumah hanya membawa badan saja,” kata Camila. Malam itu, ia dan bayinya tidur di atas lantai beralas kain seadanya.
Hingga Rabu siang (17/09), Camila mengaku belum menerima bantuan logistik. Sementara, kebutuhan bayinya tak bisa ditunda.
“Kalau dari saya pribadi, kebutuhan anak dulu. Kayak tisu basah, karena di sini mulai sulit air. Jadi harapannya itu perlengkapan bayi, baik minyak telon, tisu basah, pampers. Itu mungkin sudah sangat membantu, dengan alat tidur, karena kami tidak ada alat tidur,” ungkapnya dengan nada penuh harap.
Untuk urusan perut, Camila mengatakan bahwa para pengungsi sejauh ini mengandalkan bantuan dari warga setempat.
“Sementara kami ini makan, memasak dari bantuan dari salah satu pengusaha di [Distrik] Elelim. Masing-masing saling membantu, kalau dari pemerintah belum ada,” tambahnya.
Camila juga belum bisa bertemu dengan suaminya yang terpisah jarak di Kabupaten Yalimo, karena situasi yang belum aman dan banyaknya jalan yang dipalang.
Ia enggan dievakuasi ke Wamena, kota terdekat dari Kabupaten Yalimo yang bisa ditempuh tujuh jam berkendara. Alasannya, cuaca di Wamena dingin dan bisa membuat bayinya mudah sakit. Selain itu, ia juga belum mendapat jaminan bantuan dan tidak memiliki kerabat keluarga di sana.
“Mungkin kalau [dievakuasi] ke Jayapura bisa, [karena] ada seorang saudara di sana… Nanti kami, terutama saya dan anak nanti makin menderita di sana [Wamena], jadi kami mungkin bertahan dulu di sini,” jelasnya.
Camila dan suaminya telah membuka usaha di Kabupaten Yalimo sejak 2018. Menurutnya, kerusuhan yang terjadi sejak Selasa pagi (16/09) adalah “yang paling membabi buta”.
“Karena [isunya] rasis. Kalau sebelum-sebelumnya yang [isu] rasis waktu 2019 hanya bakar ban saja. Kalau yang 2021 masalah pemilu. Yang kemarin 2024 juga pemilu lagi,” paparnya.
Pengungsi lain, Yohana, juga menceritakan pengalaman serupa.
“Lebih parah ini. Biasa kan kalau mau kacau-kacau, ada kabar duluan. Tapi ini kan kemarin tidak ada. Langsung kejadian,” katanya, membandingkan kericuhan yang terjadi pada tahun-tahun sebelumnya.
Yohana, seorang warga perantau yang sudah tinggal lebih dari satu dekade di Yalimo, mengaku akan bertahan di pengungsian karena sudah tidak memiliki uang untuk mengungsi ke tempat lain.
Sementara itu, Ipul, seorang penjual sembako di Kabupaten Yalimo, mengklaim bahwa kiosnya telah habis terbakar beserta seluruh isinya. Saat ditanya apakah hanya kios-kios milik warga pendatang yang menjadi sasaran amukan massa, ia membenarkan, “Betul itu”.
Sama seperti Yohana, Ipul juga memilih bertahan karena masih ada teman-teman satu kampung yang saling membantu di pengungsian. Ia memilih menunggu dan memantau perkembangan keamanan.
Salurkan Logistik Sekaligus Tambah Pasukan
Di tengah situasi yang genting ini, Dandim 1702 Jayawijaya, Letkol Arh Reza ChA Mamoribo, mengatakan bahwa pihaknya akan membawa bantuan logistik untuk para pengungsi yang berada di Posramil Elelim. Selain itu, ia juga melakukan “penebalan personel”.
“Dengan adanya penguatan pasukan dan dukungan logistik ini, diharapkan Posramil Elelim semakin siap dalam menghadapi dinamika di lapangan serta mampu menjaga stabilitas di Kabupaten Yalimo,” katanya seperti dikutip Antara.
Ia juga mengingatkan anak buahnya agar “tetap mengedepankan pendekatan humanis dalam melaksanakan tugas serta menjaga sinergitas dengan Polri dan pemerintah daerah”.
Sejalan dengan upaya tersebut, Polda Papua mengerahkan 110 personel Brimob untuk membantu Polres Yalimo mengamankan situasi di Kabupaten Yalimo, Papua Pegunungan.
Kabid Humas Polda Papua, Cahyo Sukarnito, menjelaskan bahwa langkah ini diambil untuk memastikan stabilitas keamanan serta mencegah potensi meluasnya konflik.
Aparat juga dilibatkan dalam membantu proses evakuasi ratusan warga, mengamankan jalur transportasi, dan mendukung penyaluran logistik kepada masyarakat terdampak.
“Saya sampaikan, Polda Papua dan Polres Yalimo sudah berkolaborasi dengan pemerintah daerah, TNI-Polri untuk melakukan upaya maksimal, termasuk mengedepankan tokoh agama, tokoh adat, tokoh masyarakat, tokoh perempuan untuk saling bahu membahu meredam potensi konflik meluas,” kata Cahyo.
Pemicu Kerusuhan: Ucapan Rasis
Menurut Polda Papua dan Polres Yalimo, kerusuhan yang berpusat di Elelim diduga dipicu oleh ucapan rasis antarpelajar SMA.
Sebelum kerusuhan pecah, seorang siswa berinisial AB diduga melontarkan ujaran yang menyinggung teman sekelasnya saat kegiatan belajar berlangsung, sekitar pukul 07.00 WIT.
“Salah satu siswa inisial AB diduga mengeluarkan ujaran yang menyinggung temannya yang juga merupakan siswa di kelas tersebut,” kata Kapolres Yalimo, Kompol Joni Samonsabra seperti dikutip Detik, Rabu (17/09).
Ucapan rasis itu kemudian memicu perkelahian antarsiswa. Pihak sekolah berupaya memediasi perselisihan tersebut, namun gagal.
“Ucapan ini memicu reaksi negatif dari beberapa siswa yang kemudian melakukan pemukulan terhadap murid AB,” tambah Joni.
Persoalan ini, kata dia, menimbulkan ketegangan dan membuat warga asli setempat tersinggung. Pertikaian antarpelajar meluas keluar dari sekolah hingga memicu kerusuhan.
“Massa kemudian melakukan pembakaran terhadap kios yang diduga milik orang tua siswa AB, serta merembet ke Mess Perwira dan asrama Polres Yalimo,” jelas Joni.
Versi KNPB
Ketua Komite Nasional Papua Barat (KNPB) Yalimo, Theo Loho, memberikan keterangan yang senada. Menurutnya, kerusuhan dipicu oleh ucapan rasis seorang pelajar pendatang terhadap pelajar warga asli Papua.
Persoalan ini kemudian meluas menjadi kerusuhan yang disertai pembakaran kios-kios dan bangunan. Rumah warga asli Papua juga ada yang terdampak kerusuhan karena lokasinya berdekatan dengan “ruko dan kios imigran”.
“Setelah mereka bakar ruko atau kios, akhirnya juga korban ada beberapa rumah yang menjadi korban warga asli Papua punya rumah yang baku sambung itu ikut korban, sama-sama,” kata Theo.
Menurutnya, kerusuhan ini terjadi secara “spontan” karena kemarahan warga asli setempat. “Aksi kemarin terjadi ini, bukan aksi struktural atau aksi terkomando, tidak. Ini aksi spontanitas,” tegasnya.
Theo menolak upaya-upaya yang ia sebut sebagai “mencari kambing hitam” di tengah situasi yang memanas ini.
“Kami sampaikan karena kerusuhan tersebut sudah jelas-jelas keluar dari sekolah… Jadi pihak siapapun tidak bisa memberi vonis kepada si ini, si itu, itu tidak bisa,” tambahnya.
KNPB Yalimo juga melaporkan bahwa sejumlah warga mengalami luka akibat terkena timah panas dari aparat keamanan selama kerusuhan berlangsung. Berdasarkan studi yang dilakukan oleh Universitas Indonesia pada tahun 2022, penggunaan kekuatan berlebihan oleh aparat keamanan dapat memperburuk konflik dan meningkatkan eskalasi kekerasan.
Bukan yang Pertama
Kasus rasisme terhadap orang asli Papua bukanlah kejadian baru. Pada tahun 2019, asrama mahasiswa Papua di Surabaya, Jawa Timur, didatangi oleh sekelompok aparat.
Para mahasiswa di dalam asrama menerima lontaran kata-kata rasial berupa nama-nama binatang. Persoalan ini dipicu oleh perusakan bendera Merah Putih—yang pelakunya tidak diketahui.
Kejadian di asrama ini memicu gelombang unjuk rasa dan pembakaran gedung di Manokwari, Sorong, hingga Fakfak.
Unjuk rasa serupa juga terjadi di Kabupaten Yalimo, namun kericuhannya tidak separah kejadian saat ini.
“Di sini, anak kecil, orang besar, juga masyarakat sipil, masyarakat kampung, semua paham namanya Rasis… Mereka sadar bahwa itu hal yang memang terlarang oleh seluruh dunia,” kata Theo.
Theo mengatakan bahwa gelombang unjuk rasa pada 2019 silam terkait rasisme seharusnya menjadi pelajaran berharga.
“Dan itu sudah diberikan peringatan. Namun terulang kembali. Langsung disampaikan kepada anak asli daerah Yalimo sendiri, sehingga di situ muncul perlawanan, berlangsung akhirnya korban, kebakaran, itu terjadi mungkin seperti itu,” jelasnya.
‘Luka yang Belum Sembuh’
Sejumlah tokoh adat dan agama merespons kerusuhan di Kabupaten Yalimo dengan mengutuk tindakan rasisme dan kekerasan.
Pastor John Bunay dari Jaringan Damai Papua menilai bahwa kasus rasisme terhadap orang asli Papua terus berulang karena selama ini tidak diselesaikan melalui proses rekonsiliasi yang komprehensif.
“Dia masih meninggalkan bekas di dalam hati semua orang Papua, rupanya. Sehingga kalau ngomong [rasis]… yang merendahkan harkat martabat orang Papua itu kelihatannya dia larinya ke sana, kepada aksi pembakaran, lalu misalnya demo,” katanya.
Ia mendorong penyelesaian melalui rekonsiliasi “tiga tungku” yang melibatkan tetua tujuh wilayah adat, tokoh agama, dan pemerintah. “Mereka duduk bicara. Baru menyelesaikan soal,” usulnya.
“Itu tua-tuanya dikumpul, lalu tua-tua itu mereka bersepakat, lalu membayar denda, lalu memutuskan. Mereka tahu caranya kok,” tambah Pastor John.
Menurut pengamatannya, selama ini kasus-kasus rasisme yang dialami orang asli Papua diselesaikan tanpa “dialog, bicara baik”.
“Tapi kalau dengan polisi mulai jalan, tangkap ini, tangkap itu, itu bukan menyembuhkan luka. Tapi lukanya ditekan, dipaksa seakan-akan tidak ada begitu… Itu kan, luka kan tidak sembuh,” pungkas Pastor John. Penelitian dari Universitas Gadjah Mada pada tahun 2021 menunjukkan bahwa dialog inklusif dan partisipatif adalah kunci untuk membangun perdamaian yang berkelanjutan di Papua.
Tag Headline: Kerusuhan Yalimo, Rasisme Papua, Rekonsiliasi Papua
Featured: Ya
Category: Nasional
Tag: Kerusuhan, Yalimo, Papua, Rasisme, Rekonsiliasi, Konflik, Pengungsi, Tokoh Agama
FAQ: Pertanyaan Seputar Kerusuhan Yalimo dan Rasisme di Papua
* Mengapa Kerusuhan di Yalimo Terjadi?
Kerusuhan di Yalimo diduga kuat dipicu oleh ucapan rasis seorang pelajar terhadap pelajar asli Papua. Persoalan ini kemudian meluas menjadi aksi pembakaran dan kekerasan.
* Bagaimana Kondisi Pengungsi Akibat Kerusuhan?
Ratusan warga mengungsi, banyak di antaranya kehilangan tempat tinggal dan harta benda. Mereka sangat membutuhkan bantuan logistik dan dukungan psikologis.
* Apa yang Dimaksud dengan Rekonsiliasi Tiga Tungku?
Rekonsiliasi tiga tungku adalah pendekatan penyelesaian konflik yang melibatkan tokoh adat, tokoh agama, dan pemerintah untuk mencari solusi damai melalui dialog dan musyawarah.
* Bagaimana Cara Mencegah Terulangnya Kasus Rasisme di Papua?
Pencegahan rasisme membutuhkan pendidikan inklusif, penegakan hukum yang adil, dan dialog yang berkelanjutan antara berbagai kelompok masyarakat.
* Apa Peran Pemerintah dalam Menyelesaikan Konflik di Papua?
Pemerintah memiliki peran penting dalam memfasilitasi dialog, memberikan bantuan kemanusiaan, dan menjamin keamanan seluruh warga negara tanpa diskriminasi.
HIMBAUAN: Artikel ini bertujuan untuk memberikan informasi yang akurat dan berimbang mengenai situasi di Yalimo. Kami mengimbau semua pihak untuk menahan diri dari tindakan provokatif dan mengedepankan dialog damai untuk menyelesaikan masalah.


