Himbauan Panas
Beranda / Panas / Nikel dan Luka Pulau Obi, Ironi Hijau Kendaraan Listrik

Nikel dan Luka Pulau Obi, Ironi Hijau Kendaraan Listrik

Pemandangan desa Kawasi dari atas, di tengah kompleks Harita Nickel yang sangat besar; yang dulunya merupakan hutan pesisir kini menjadi kawasan industri yang luas Foto : Rifki Anwar
Pemandangan desa Kawasi dari atas, di tengah kompleks Harita Nickel yang sangat besar; yang dulunya merupakan hutan pesisir kini menjadi kawasan industri yang luas Foto : Rifki Anwar

HIMBAUAN.COM, Maluku Utara – Di tengah gelombang transisi energi hijau global, Pulau Obi justru terluka. Pulau yang dulu hijau, tenang, dan kaya akan sumber daya kini menghadapi krisis lingkungan akibat aktivitas pertambangan nikel untuk kebutuhan baterai kendaraan listrik.

Investigasi kolaboratif antara DW dan Organized Crime and Corruption Reporting Project (OCCRP) membongkar praktik pencemaran sistematis yang dilakukan oleh Harita Group, konglomerat tambang besar yang telah beroperasi di kawasan ini sejak 2010.

Empat Perusahaan Dihukum Bayar Rp721 Miliar Akibat Kerusakan Lingkungan Parah – Putusan Bersejarah!

Harita, melalui anak usahanya PT Trimegah Bangun Persada (PT TBP), mengekspor nikel ke Eropa, Tiongkok, dan Amerika Serikat. Namun, keberadaan mereka mengubah wajah Desa Kawasi. Sungai-sungai yang dulunya jernih kini tercemar. Warga tidak lagi bisa menikmati air bersih sebagaimana dulu mereka bergantung pada mata air dan aliran sungai untuk kebutuhan sehari-hari.

Pada 2012, email internal perusahaan mengungkap temuan kromium heksavalen (Cr6)—zat kimia beracun penyebab kanker—di Sungai Tugaraci. Sungai ini merupakan sumber vital air minum dan aktivitas sehari-hari warga. Tonny Gultom, pejabat Harita, mengonfirmasi bahwa kegiatan tambang dan limpasan dari pabrik menjadi penyebab utama pencemaran tersebut.

“Airnya kini berbuih dan terasa aneh. Kami sering sakit perut, tapi tidak ada pilihan lain,” kata Nurhayati Jumadi, warga setempat.

Ironisnya, perusahaan tidak pernah mengungkapkan data pencemaran tersebut kepada regulator atau warga. Sebaliknya, mereka mengirimkan informasi itu secara tertutup kepada jajaran direksi. Dalam surat tahun 2017 yang diberi label “hanya untuk Anda baca”, manajemen Harita mengakui adanya “tren peningkatan” kadar Cr6 dan menyebut penambangan aktif sebagai pemicunya.

Ayo Upcycle & Recycle! Bangun Fashion Berkelanjutan di Indonesia

Uji laboratorium internal Harita pada 2022 memperlihatkan fakta mengkhawatirkan: kadar Cr6 mencapai 19 kali lipat dari batas aman yang ditetapkan Indonesia.

Kini, masyarakat Pulau Obi menghadapi dilema. Di satu sisi, dunia memuji kendaraan listrik sebagai solusi iklim masa depan. Di sisi lain, mereka harus membayar mahal dalam bentuk kerusakan lingkungan dan ancaman kesehatan.

Ironi hijau ini memunculkan pertanyaan penting: Siapa yang benar-benar membayar harga dari energi bersih?

Sumber : DW

Bagikan
×