
HIMBAUAN – Masa depan sektor hulu minyak dan gas (migas) Indonesia menghadapi tantangan serius, terutama terkait daya tarik investasi. Untuk mengatasi kemerosotan ini dan menjaga ketahanan energi nasional, Direktur Utama PT Pertamina (Persero), Simon Aloysius Mantiri, mendesak pemerintah agar segera memperkuat regulasi di sektor krusial ini. Simon menekankan bahwa landasan hukum yang kokoh sangat vital mengingat tren penurunan investasi di hulu migas, yang dipicu oleh fluktuasi harga minyak global yang terus menggerus profitabilitas perusahaan-perusahaan migas.
Pentingnya penguatan regulasi ini, menurut Simon, idealnya diintegrasikan ke dalam Rancangan Undang-Undang Migas (RUU Migas) yang saat ini tengah bergulir di Komisi VII DPR. Dalam rapat dengar pendapat yang dilaksanakan pada Senin, 17 November 2025, Simon dengan tegas menyatakan, “Tanpa regulasi yang kuat, daya tarik investasi akan terus melemah dan ketahanan energi ikut terancam.” Pernyataan ini menggarisbawahi urgensi pembaharuan kerangka hukum untuk menciptakan iklim investasi yang lebih stabil dan prediktif, yang menjadi prasyarat mutlak bagi keberlangsungan sektor hulu migas.
Industri hulu migas kini berjibaku keras menahan laju penurunan produksi alami yang tak terhindarkan seiring usia sumur-sumur migas yang menua. Upaya gigih ini, meski patut diacungi jempol, tidak akan cukup tanpa disertai kepastian kebijakan jangka panjang yang mampu menarik modal, teknologi mutakhir, dan inovasi baru. Kesenjangan yang semakin lebar antara produksi domestik dan kebutuhan konsumsi energi nasional telah menjadi ancaman serius bagi kemandirian energi Indonesia, menimbulkan kekhawatiran akan peningkatan ketergantungan impor.
Gambaran kondisi sektor hulu migas diperparah oleh data Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) tahun 2024 yang menunjukkan tingkat produksi minyak nasional hanya mencapai 212 juta barel. Angka ini jauh di bawah kebutuhan konsumsi, memaksa Indonesia untuk mengimpor hingga 330 juta barel minyak. Impor tersebut terbagi atas 128 juta barel minyak mentah dan 202 juta barel Bahan Bakar Minyak (BBM). Ketergantungan yang tinggi pada impor ini tidak hanya membebani neraca pembayaran negara tetapi juga membuat Indonesia rentan terhadap gejolak harga pasar minyak global dan dinamika geopolitik.
Guna memperkuat pondasi sektor hulu migas dan memastikan keberlanjutannya, Simon Mantiri mengusulkan pembentukan sebuah petroleum fund. Dana khusus ini, yang nantinya akan dikelola secara profesional oleh Badan Usaha Khusus Migas (BUKM), dirancang untuk membiayai berbagai inisiatif strategis yang bersifat jangka panjang. Mulai dari kegiatan eksplorasi yang intensif guna menemukan cadangan-cadangan baru, pembangunan infrastruktur migas yang vital untuk mendukung produksi dan distribusi, hingga program dekarbonisasi yang mendukung komitmen Indonesia dalam transisi energi yang berkelanjutan. Inisiatif ini diharapkan mampu menyediakan sumber pendanaan yang stabil dan berkelanjutan bagi pengembangan hulu migas, yang kerap membutuhkan modal besar dan jangka waktu panjang.
Kabar baik mengenai upaya perbaikan regulasi datang dari Wakil Ketua Komisi VII DPR, Sugeng Suparwoto. Ia telah menyampaikan bahwa RUU Migas masuk dalam daftar prioritas legislasi nasional dan ditargetkan rampung pada tahun ini. RUU Migas yang baru ini tidak hanya bertujuan memperkuat kerangka hukum dan investasi, tetapi juga mencakup rencana krusial pembentukan badan baru sebagai pengganti Satuan Kerja Khusus Pelaksana Kegiatan Usaha Hulu Minyak dan Gas Bumi (SKK Migas). Selain itu, regulasi ini juga akan mengatur program-program spesifik yang ditujukan untuk meningkatkan lifting minyak, yaitu tingkat produksi minyak yang dapat diangkat ke permukaan, sebuah indikator kunci keberhasilan sektor hulu.
Pembentukan badan khusus pengganti SKK Migas merupakan amanat konstitusi yang telah lama dinantikan dan krusial. Keputusan Mahkamah Konstitusi Nomor 36/PUU-X/2012 pada tahun 2012 telah secara definitif membubarkan Badan Pelaksana Kegiatan Usaha Hulu Minyak dan Gas Bumi (BP Migas), meninggalkan kekosongan hukum dalam pengelolaan hulu migas. Sejak saat itu, pengelolaan hulu migas dialihkan sementara kepada SKK Migas yang bersifat ad hoc, artinya dibentuk untuk tujuan khusus dan belum memiliki landasan undang-undang yang permanen dan kuat. Kondisi ini menciptakan ketidakpastian hukum yang harus segera diakhiri melalui pengesahan RUU Migas, demi stabilitas dan kepercayaan investor.
Perspektif lain yang tak kalah penting disampaikan oleh Ketua Umum Serikat Pekerja SKK Migas, Afriandi Eka Prasetya, yang turut menyoroti perlunya reformasi fundamental dalam sistem perizinan dan tata ruang. Menurutnya, reformasi ini esensial agar pengelolaan migas dapat berjalan lebih efisien, terintegrasi, dan tidak tumpang tindih dengan kepentingan sektor lain, seperti kehutanan atau pertanahan. Afriandi menunjuk keberhasilan negara-negara lain seperti Malaysia dan Iran, yang telah sukses membangun model lembaga tunggal yang berfungsi sebagai “pintu masuk” tunggal bagi para investor. Model ini telah terbukti menyederhanakan birokrasi, mempercepat proses investasi, dan pada akhirnya, menarik lebih banyak modal.
“Kami ingin Indonesia memiliki lembaga yang menjadi pintu masuk tunggal bagi investor, seperti Petronas di Malaysia,” tegas Afriandi dalam rapat bersama Badan Legislasi DPR pada 30 Juni 2025. Visi ini menggambarkan keinginan kuat untuk menyederhanakan proses investasi dan memberikan kepastian hukum serta kemudahan bagi calon investor, meniru praktik terbaik global yang telah terbukti efektif dalam meningkatkan daya saing investasi di sektor migas. Kehadiran lembaga tunggal ini diharapkan dapat memangkas waktu dan biaya yang selama ini menjadi keluhan investor.
Afriandi juga menggarisbawahi posisi Indonesia yang kurang kompetitif di mata investor global, sebuah fakta yang menghambat pengembangan potensi migas. Saat ini, hanya satu dari empat belas proyek migas di Indonesia yang berhasil menarik minat investor. Model pengelolaan hulu migas yang berlaku sekarang dinilai telah menciptakan ketidakpastian hukum yang signifikan serta memperumit koordinasi antar kementerian dan lembaga, sehingga menghambat laju investasi, eksplorasi, dan pengembangan potensi migas nasional secara keseluruhan. Kondisi ini membutuhkan perubahan mendasar agar Indonesia tidak tertinggal dari negara-negara lain.
Lebih lanjut, Afriandi mengusulkan reformasi mendalam pada hubungan antara pemerintah dan pelaku usaha di sektor hulu migas. Saat ini, kontrak kerja sama umumnya dilakukan dalam bentuk government to business (G to B) melalui SKK Migas, yang seringkali melibatkan campur tangan birokrasi yang panjang. Menurutnya, skema ini lebih tepat diubah menjadi model business to business (B to B) dengan menunjuk badan usaha khusus yang sah sebagai pemegang konsesi migas. Perubahan ini diharapkan dapat menciptakan iklim bisnis yang lebih transparan, efisien, dan jauh lebih menarik bagi investor, sejalan dengan praktik bisnis internasional.
Dalam model B to B yang diusulkan, Afriandi menjelaskan, “Negara memberi konsesi kepada badan usaha khusus, lalu badan usaha itu yang bermitra secara bisnis dengan investor.” Ini berarti pemerintah sebagai regulator akan fokus pada pembuatan kebijakan, pengawasan, dan perumusan visi jangka panjang, sementara badan usaha khusus akan berfungsi sebagai entitas bisnis yang bernegosiasi langsung dengan investor. Pergeseran ini diharapkan dapat menghilangkan beberapa lapisan birokrasi yang tidak perlu, menyelaraskan kepentingan bisnis dengan tujuan negara, dan pada akhirnya, menciptakan ekosistem investasi yang jauh lebih kondusif dan kompetitif bagi sektor hulu migas Indonesia di kancah global.
Pilihan Editor: Investasi Jumbo demi Target 1 Juta Barel


