HIMBAUAN – Asosiasi Sepak Bola Malaysia (FAM) kini terjerembab dalam pusaran krisis, menandai salah satu periode terburuk sepanjang sejarah organisasi yang telah berdiri nyaris seabad itu. Keputusan tegas dari Federasi Sepak Bola Internasional (FIFA) yang menolak banding mereka, menjadi penegas kuat atas kesalahan FAM dalam kasus pemalsuan dokumen yang menggemparkan.
Kasus ini berpusat pada tindakan tidak terpuji FAM yang terbukti memanipulasi dokumen tempat lahir kakek atau nenek tujuh pemain naturalisasi Timnas Malaysia. Modus operandi ini dilakukan demi memenuhi syarat kelayakan para pemain tersebut agar dapat membela Harimau Malaya. Akibat pelanggaran serius ini, FAM dijatuhi denda sebesar 350.000 franc Swiss, sebuah angka yang tidak kecil dan menjadi simbol teguran keras dari badan sepak bola dunia.
Kabar mengenai sanksi dan denda ini sontak memicu gelombang kekecewaan masif di kalangan penggemar sepak bola Malaysia. Harapan yang sempat membumbung tinggi atas proyek naturalisasi, kini berganti menjadi rasa getir dan malu yang mendalam.
Mimpi ke Babak 16 Besar ACL Two di Depan Mata, Persib Bandung Bersiap Libas Wakil Malaysia
Kegaduhan ini turut diulas tajam oleh media lokal. New Straits Times, salah satu surat kabar terkemuka Malaysia, melalui jurnalis senior Ajitpal Singh, secara terbuka menyampaikan kekecewaan mendalam. Ajitpal melukiskan sanksi dari FIFA ini sebagai “kartu merah” tak terduga yang menghantam wajah sepak bola Malaysia.
Dalam analisisnya, Ajitpal tidak menampik bahwa fenomena naturalisasi pemain asing menjadi tren global. Banyak negara berlomba-lomba untuk memperkuat tim nasional mereka dengan talenta dari luar. Ia menyoroti contoh Timnas Indonesia yang dinilai telah meraih kemajuan pesat berkat proyek naturalisasi yang terencana dengan baik. Tak ketinggalan, Qatar juga disebut sebagai salah satu negara yang berhasil mengoptimalkan strategi ini.
Tergiur dengan potensi peningkatan performa, Timnas Malaysia pun mengikuti jejak serupa. Sepanjang tahun ini, mereka telah menaturalisasi tujuh pemain, dengan harapan besar akan membawa angin segar bagi Harimau Malaya. Namun, alih-alih merengkuh kesuksesan yang diidamkan, Malaysia justru mendapati diri mereka terjerat sanksi berat dari FIFA, sebuah ironi yang menyakitkan.
“Banyak tim di seluruh dunia, termasuk Qatar dan Indonesia, tengah memacu tim mereka dengan mendatangkan pemain-pemain naturalisasi,” tulis Ajitpal dalam artikelnya. “Ada yang berhasil meraih emas sementara yang lain berakhir dengan berurusan dengan pengacara, surat tegas dari FIFA, dan kartu merah dari buku peraturan.”
Kini, giliran Malaysia yang harus merasakan pahitnya hukuman. “Dan kini, Malaysia, yang biasanya berprestasi secara diam-diam di sepak bola Asia Tenggara, justru mendapati dirinya terlibat di dalamnya,” lanjut Ajitpal, menggambarkan bagaimana negara yang dikenal tenang ini kini terseret dalam skandal. Tujuh pemain kelahiran luar negeri tersebut, yang awalnya diharapkan dapat “membangkitkan Harimau Malaya” dengan sumpah setia, mencoba mempelajari lagu kebangsaan, dan memberikan kebanggaan sebagai tim yang bangkit, kini justru menjadi pangkal masalah.
Namun, impian itu buyar ketika “FIFA kemudian meniup peluit.” Badan sepak bola dunia tersebut dengan tegas memutuskan bahwa dokumen yang dimaksudkan untuk membuktikan hubungan leluhur dengan Malaysia telah “dipalsukan.” Penyelidikan FIFA berhasil membongkar kebohongan di balik administrasi tersebut.
Ajitpal menambahkan, “Di atas kertas, mereka orang Malaysia. Secara hukum, paspor mereka sah.” Namun, FIFA memiliki standar yang lebih tinggi dan mendalam. “Tapi FIFA tidak hanya memeriksa paspor, tapi juga keturunan. Dan di situlah semuanya terbongkar.” Inilah inti permasalahan yang menjerat FAM. “Warga negara legal, ya. Secara teknis tidak memenuhi syarat, juga ya,” pungkasnya, menunjukkan paradoks antara legalitas nasional dan kelayakan teknis menurut aturan FIFA.
Anak Sultan Tengil Nantangin FIFA saat Pemerintah Malaysia Mikir Biar Nggak Disanksi
Buntut dari sanksi FIFA ini, Ajitpal Singh dengan pedas menyatakan bahwa Malaysia kini memiliki nasib yang serupa dengan Timor Leste. Sebuah kemunduran memalukan yang mengulang kembali kasus pada tahun 2017, ketika Timor Leste dijatuhi skorsing oleh Konfederasi Sepak Bola Asia (AFC) karena terbukti memalsukan dokumen pemain. Hukuman tersebut kala itu membuat Timor Leste dilarang berpartisipasi di Kualifikasi Piala Asia 2023 dan diwajibkan membayar denda.
“Sekarang, alih-alih mengejar impian kualifikasi Piala Asia, mereka mengejar tanda tangan dari pengacara,” tulis Ajitpal, menyoroti pergeseran fokus sepak bola Malaysia dari prestasi ke masalah hukum. Ia juga menambahkan, “Dulu, penggemar Malaysia menertawakan Timor Leste atas kegagalannya dengan kertas palsu. Kini, mereka menjadi bahan tertawaan dan berada di perahu yang sama.” Sebuah ironi pahit yang kini harus ditelan oleh publik sepak bola Malaysia.
Menurut Ajitpal, nasib malang yang menimpa Malaysia ini berfungsi sebagai peringatan keras bagi negara-negara lain yang mungkin tergoda untuk mengambil jalan pintas dalam proyek naturalisasi. “Kemalangan Malaysia mungkin menjadi tanda bahaya paling keras yang pernah ada,” kata Ajitpal dengan penekanan.
“Sebuah peringatan bagi negara mana pun yang tergoda untuk melewati zona abu-abu kelayakan,” tambahnya. Di era baru sepak bola internasional ini, pertanyaan fundamentalnya bukan hanya tentang “untuk siapa Anda bermain,” melainkan juga “apa yang tertulis di akta kelahiran Anda, dan siapa yang menandatanganinya.” FIFA kini menyoroti detail terkecil dalam verifikasi silsilah.
“Sementara Malaysia menunggu hari persidangannya, dunia sepak bola lainnya mungkin ingin memeriksa lemari arsipnya sendiri sebelum peluit berikutnya dibunyikan,” Ajitpal menyarankan, menyoroti perlunya introspeksi bagi federasi lain. Bagi penggemar Malaysia, ada pil pahit yang harus ditelan. “Bagi fans Malaysia, mereka bisa memaafkan kekalahan, tetapi yang tidak bisa mereka maafkan adalah merasa tertipu,” tutup Ajitpal, merangkum inti dari kekecewaan mendalam yang kini melanda basis suporter Harimau Malaya.


