Panas
Beranda / Panas / Abdul Wahid: Gubernur Riau ke-4 Korupsi, KPK Prihatin

Abdul Wahid: Gubernur Riau ke-4 Korupsi, KPK Prihatin

HIMBAUANKasus korupsi yang kembali menyeret seorang Gubernur Riau, Abdul Wahid, telah memicu keprihatinan mendalam dari Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Ironisnya, Abdul Wahid bukanlah yang pertama; ia menandai kasus keempat yang melibatkan pemimpin Provinsi Riau dalam jerat lembaga antirasuah ini, menunjukkan pola yang mengkhawatirkan dan berulang.

Abdul Wahid, yang menjabat sebagai orang nomor satu di Bumi Lancang Kuning, baru-baru ini menjadi sorotan publik setelah terjaring operasi tangkap tangan (OTT) KPK. Penangkapan dramatis tersebut terjadi di Provinsi Riau pada Senin, 3 November, menjadi babak baru dalam rentetan panjang kasus korupsi di daerah itu. Peristiwa ini sekaligus menjadi alarm keras bagi perbaikan tata kelola pemerintahan di wilayah tersebut.

Juru Bicara KPK, Budi Prasetyo, mengungkapkan rasa prihatin lembaganya atas fenomena yang berulang ini. Kepada awak media pada Selasa, 4 November, Budi Prasetyo menuturkan, “Kalau tidak salah hitung, ya, sudah empat kali Provinsi Riau ini ada dugaan tindak pidana korupsi atau korupsi yang kemudian ditangani oleh KPK.” Pernyataan ini tidak hanya sekadar hitungan statistik, melainkan sebuah refleksi nyata atas krisis integritas yang berulang di pucuk pimpinan provinsi tersebut. “Oleh karena itu kami juga menyampaikan keprihatinan,” imbuhnya, menandaskan keseriusan KPK terhadap kondisi ini.

Melihat pola yang mengkhawatirkan ini, Budi Prasetyo lantas melontarkan imbauan tegas kepada Pemerintah Provinsi Riau untuk segera berbenah dan melakukan perbaikan fundamental dalam tata kelola pemerintahan. “Penting untuk pemerintah daerah, khususnya di Pemprov Riau, itu untuk lebih serius lagi melakukan pembenahan, melakukan perbaikan,” ujar Budi. Ia menekankan perlunya evaluasi menyeluruh terhadap sistem dan mekanisme yang ada, agar praktik koruptif tidak lagi menemukan celah. “Bagaimana tata kelola di pemerintah daerah itu kemudian bisa dilakukan upaya-upaya perbaikan,” tambahnya, menyoroti urgensi pembenahan sistemik.

Tidak berhenti hanya pada imbauan, Budi menegaskan bahwa KPK secara konsisten telah dan akan terus melakukan upaya pendampingan dan pengawasan melalui fungsi koordinasi dan supervisi (Korsup). “KPK secara intensif terus melakukan pendampingan dan pengawasan melalui tugas dan fungsi koordinasi serta supervisi,” jelasnya. Tim KPK turun langsung ke lapangan untuk mengidentifikasi sektor-sektor yang memiliki risiko tinggi terhadap praktik korupsi. Dari hasil identifikasi tersebut, KPK kemudian merumuskan rekomendasi konkret untuk perbaikan tata kelola kepada pemerintah daerah yang bersangkutan. “KPK kemudian memberikan rekomendasi untuk dilakukan perbaikan kepada pemerintah daerah,” terangnya. Lebih jauh lagi, KPK juga menggunakan instrumen Survei Penilaian Integritas (SPI) sebagai alat ukur efektivitas perbaikan integritas di lingkungan pemerintahan daerah. Ini adalah langkah komprehensif untuk mendeteksi dan mencegah korupsi sejak dini. “Termasuk KPK juga melakukan pengukuran melalui Survei Penilaian Integritas,” pungkasnya.

Geger! Surat Pemecatan Gus Yahya dari Ketum PBNU Beredar

Sebelum Abdul Wahid, sejarah kelam korupsi Gubernur Riau telah mencatat tiga nama lain yang juga berujung di meja hijau KPK. Mereka adalah Saleh Djasit (periode 1998–2003), Rusli Zainal (periode 2003–2013), dan Annas Maamun (periode 2014–2016). Kisah ketiganya menjadi preseden buruk yang terus menghantui reputasi pemerintahan provinsi tersebut, mengukuhkan citra Riau sebagai salah satu daerah yang rentan terhadap praktik rasuah di tingkat kepemimpinan.

Saleh Djasit, Gubernur Riau pertama yang terjerat KPK, ditangkap karena kasus korupsi pengadaan mobil pemadam kebakaran. Skandal ini bahkan menyeret nama mantan Menteri Dalam Negeri (Mendagri), Hari Sabarno. Saleh Djasit resmi ditahan pada 19 Maret 2008, setelah masa jabatannya berakhir dan ia sempat menjadi anggota Dewan Perwakilan Rakyat (DPR). Kasusnya menjadi peringatan awal akan bahaya penyalahgunaan wewenang.

Kemudian, tongkat estafet kasus korupsi dilanjutkan oleh Rusli Zainal. Ia menghadapi serangkaian dakwaan serius, termasuk korupsi proyek Pekan Olahraga Nasional (PON) XVIII, kasus suap terhadap anggota DPRD Riau, serta penerbitan izin usaha pemanfaatan hasil hutan kayu pada hutan tanaman (IUPHHK-HT) di Kabupaten Pelalawan, Riau. Kasus-kasusnya menunjukkan betapa merajalelanya praktik rasuah yang melibatkan berbagai sektor dan jaringan di pemerintahan daerah.

Terakhir, sebelum Abdul Wahid, ada Annas Maamun yang juga ditangkap melalui operasi tangkap tangan (OTT) pada 25 September 2014 malam. Annas disebut menerima uang haram dari pengusaha sebagai imbalan atas izin alih fungsi hutan tanaman industri di Riau. Kasus ini menyoroti kerentanan sektor kehutanan terhadap praktik gratifikasi dan suap, yang berdampak luas pada lingkungan dan ekonomi daerah.

Adapun kasus yang menjerat Abdul Wahid saat ini berpusat pada dugaan tindak pidana pemerasan yang terjadi di lingkungan Dinas Pekerjaan Umum dan Penataan Ruang (PUPR) Riau. Modus operandi pemerasan ini sedang didalami secara intensif oleh penyidik KPK. Bersama Abdul Wahid, sembilan orang lainnya juga tengah menjalani pemeriksaan maraton untuk menguak tuntas benang kusut kasus ini. Ini menunjukkan indikasi kuat adanya jaringan yang terlibat dalam praktik rasuah yang terstruktur.

UMP 2026: Kenapa Pemerintah Belum Umumkan?

KPK telah memastikan bahwa pihaknya telah menetapkan sejumlah tersangka dalam perkara OTT Abdul Wahid ini. Namun, identitas lengkap serta jumlah pasti pihak-pihak yang dijerat sebagai tersangka baru akan diumumkan secara resmi pada Rabu, 5 November. Pengumuman ini tentu saja sangat dinantikan publik untuk melihat sejauh mana praktik rasuah ini telah merajalela dan siapa saja yang bertanggung jawab, sekaligus menjadi momentum penting bagi upaya pembersihan tata kelola pemerintahan di Riau.

Sumber: Berita Sumber

Facebook Comments Box

POPULER





Desember 2025
SSRKJSM
1234567
891011121314
15161718192021
22232425262728
293031 
×
×