
Mahkamah Konstitusi (MK) secara resmi menolak permohonan uji formil terhadap revisi Undang-Undang TNI yang diajukan oleh Koalisi Masyarakat Sipil. Namun, dalam putusan krusial tersebut, empat Hakim Konstitusi menyatakan dissenting opinion atau pendapat berbeda. Keempat hakim tersebut, yakni Suhartoyo, Saldi Isra, Enny Nurbaningsih, dan Arsul Sani, tidak sepakat dengan penolakan gugatan formil UU TNI tersebut. Mereka justru berpendapat bahwa permohonan tersebut seharusnya dikabulkan. “Empat Hakim Konstitusi tersebut berpendapat bahwa permohonan Pemohon beralasan menurut hukum. Seharusnya, Mahkamah mengabulkan permohonan para Pemohon untuk sebagian,” ujar Ketua MK Suhartoyo usai membacakan amar putusannya di Ruang Sidang MK, Jakarta, Rabu (17/9).
Pandangan berbeda dari keempat hakim ini menyoroti sejumlah kejanggalan prosedural dalam pembentukan UU TNI Nomor 3 Tahun 2025, khususnya terkait asas keterbukaan dan partisipasi publik yang bermakna. Berikut adalah penjelasan terperinci mengenai alasan masing-masing hakim menyatakan perbedaan pendapat:

Apa Pandangan Hakim Suhartoyo Mengenai Revisi UU TNI?
Hakim Suhartoyo, dalam pandangannya, menyoroti penegakan asas keterbukaan oleh Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) dalam penyebarluasan dokumen serta informasi terkait revisi UU TNI. Suhartoyo menyatakan masyarakat berhak memberikan masukan, baik secara lisan maupun tertulis, pada setiap tahapan pembentukan undang-undang. Pembentuk undang-undang berkewajiban menyediakan informasi mengenai adanya pembentukan UU guna memudahkan akses masyarakat dalam memberikan masukan.
Fakta persidangan menunjukkan bahwa setelah penetapan revisi UU TNI masuk dalam Program Legislasi Nasional (Prolegnas) Prioritas Tahun 2025, laman resmi DPR tidak memuat informasi terkait revisi UU TNI, naskah akademik, maupun dokumen pendukung lainnya. Padahal, informasi ini seharusnya dapat diakses publik dengan mudah untuk memberikan masukan. Berdasarkan penelusuran di laman DPR, dokumen revisi UU TNI ditemukan pada tanggal 20 Maret 2025, yaitu tanggal pelaksanaan rapat paripurna tingkat II DPR yang menyetujui RUU TNI untuk disahkan menjadi undang-undang. Oleh karena itu, Suhartoyo menyatakan, keterangan DPR dan Presiden yang menjelaskan penyebarluasan dokumen secara terbatas karena alasan strategis tidak dapat dibenarkan. Argumentasi tersebut menimbulkan hambatan terhadap asas keterbukaan, yang merupakan salah satu asas esensial dalam proses pembentukan peraturan perundang-undangan yang baik.
Lebih lanjut, Suhartoyo juga mengkritik bahwa siaran langsung sebagian rapat pembahasan revisi UU TNI, termasuk Rapat Dengar Pendapat Umum (RDPU), semestinya dilengkapi dengan pemenuhan kewajiban lain. Kewajiban tersebut mencakup ketersediaan akses publik terhadap dokumen revisi UU TNI, naskah akademik, dan dokumen pendukung lainnya melalui kanal resmi di laman DPR. Suhartoyo menjelaskan, penyampaian draf RUU TNI beserta naskah akademik melalui kanal tidak resmi justru menimbulkan multipersepsi di masyarakat akibat ketidakpastian draf RUU yang dibahas. Selain itu, kondisi tersebut menghambat akses masyarakat dalam memberikan masukan terhadap RUU TNI. Suhartoyo juga menyoroti pendapat DPR dan pemerintah terkait tahapan perencanaan dan penyusunan RUU TNI oleh DPR periode sebelumnya, serta pengiriman RUU TNI usulan DPR kepada Presiden pada 28 Mei 2024. Suhartoyo mengidentifikasi perbedaan substansial antara draf RUU TNI usulan DPR periode sebelumnya (28 Mei 2024) dengan draf yang dibahas setelah masuknya RUU TNI dalam Prolegnas Prioritas Nasional Tahun 2025 hingga disahkan pada 20 Maret 2025. Dengan demikian, tahapan yang dilaksanakan di periode sebelumnya tidak serta-merta menunjukkan keterpenuhan asas keterbukaan dan partisipasi publik yang bermakna.
Suhartoyo memahami alasan pemerintah dalam mengubah UU TNI, yakni urgensi nasional untuk memperkuat pertahanan negara dan menindaklanjuti putusan MK Nomor 62/PUU-XIX/2021. Namun, hal ini tidak dapat dijadikan alasan untuk tidak mengupayakan pemenuhan optimal terhadap asas pembentukan peraturan perundang-undangan yang baik, terutama asas keterbukaan dan partisipasi masyarakat yang bermakna. Menurut Suhartoyo, pelaksanaan tiga kali RDPU dan satu kali audiensi pada Maret 2025 juga tidak serta-merta memenuhi prasyarat partisipasi masyarakat yang bermakna. Hal ini disebabkan ketiadaan bukti bahwa hak masyarakat telah terpenuhi untuk dipertimbangkan pendapatnya atau mendapatkan penjelasan. Pelaksanaan audiensi yang baru dilakukan pada 18 Maret 2025, atau dua hari sebelum pengesahan RUU TNI, menyebabkan masyarakat kehilangan momentum untuk memberikan masukan. Suhartoyo menyimpulkan bahwa proses pembentukan UU Nomor 3 Tahun 2025 tidak sejalan dengan prinsip-prinsip tata cara pembentukan peraturan perundang-undangan yang baik.
Meskipun Suhartoyo tidak membenarkan proses pembentukan UU TNI yang cacat formil dan harus diperbaiki, ia juga menilai bahwa UU TNI yang sudah berlaku tidak dapat secara seketika dinyatakan tidak berlaku. Suhartoyo berpendapat permohonan Pemohon seharusnya dikabulkan sebagian. Ia menyatakan pembentukan UU 3/2025 tidak bertentangan dengan UUD Tahun 1945 secara bersyarat (conditionally constitutional), sepanjang dilakukan perbaikan dalam waktu paling lama 2 tahun sejak putusan perkara ini diucapkan. Perbaikan tersebut harus memenuhi asas keterbukaan dan partisipasi publik yang bermakna dalam tahap pembentukan undang-undang a quo.

Mengapa Hakim Saldi Isra Menilai Ada Cacat Prosedural dalam Revisi UU TNI?
Hakim Saldi Isra menyoroti fakta bahwa revisi UU TNI awalnya tidak termasuk dalam pembahasan prioritas untuk diselesaikan pada tahun 2025. Namun, DPR kemudian menerbitkan perubahan daftar pembahasan Rancangan Undang-Undang pada Prolegnas Prioritas 2025, dengan menyepakati revisi UU TNI sebagai Prolegnas Prioritas tahun 2025. Dalam persidangan di MK, DPR menyatakan pertimbangan untuk merevisi UU TNI adalah menindaklanjuti Putusan MK Nomor 62/PUU-XIX/2021. Saldi Isra menyatakan bahwa dengan mengikuti argumentasi DPR, timbul kesan bahwa DPR ingin segera menyelesaikan pembahasan RUU perubahan UU TNI. Namun, Saldi menekankan adanya fakta yang berseberangan dengan argumentasi tersebut. Keterangan DPR pada pokoknya tidak menjadikan revisi UU TNI sebagai pembahasan prioritas pada 2025, melainkan Prolegnas jangka menengah. Saldi bertanya mengapa DPR tidak menuangkan keinginan tersebut dalam lampiran keputusan Prolegnas prioritas sejak awal, jika memang ingin segera menyelesaikan pembahasan. Ini justru mengharuskan DPR merevisi Keputusan DPR Nomor 64/DPR RI/I/2024-2025 dengan mengeluarkan Keputusan Nomor 6.1/DPR RI/II 2024-2025.
Selain itu, Saldi Isra juga menyoroti DPR tidak mengambil pilihan revisi UU TNI sebagai undang-undang operan atau carry over. Saldi menjelaskan, jika DPR bermaksud segera menyelesaikan proses pembahasan revisi UU TNI namun terhalang masa transisi, seharusnya proses pembahasannya dikelompokkan sebagai UU carry over. Namun, dalam Keputusan DPR Nomor 64/DPR RI/I/2024-2025, pembentuk undang-undang tidak mengambil pilihan tersebut. Tidak terdapat keterangan dalam lampiran yang menyebutkan Rancangan Undang-Undang Perubahan UU TNI sebagai RUU operan (carry over). Saldi juga membahas keterangan tertulis DPR kepada MK mengenai proses carry over pembahasan rancangan undang-undang yang belum selesai untuk dilanjutkan pada periode berikutnya. Dalam argumentasi ini, Saldi menilai pembahasan revisi UU TNI lebih menitikberatkan pada aspek politik dan kesepakatan-kesepakatan politik antar lembaga pembentuk undang-undang. Ia mengakui ruang dalam pembentukan UU dengan proses politik untuk mengakomodasi berbagai kepentingan. Namun, dari sudut pandang tata cara dan prosedur, Saldi menegaskan adanya rambu-rambu yang harus ditaati agar proses pembentukan UU berlangsung sesuai aturan main. Saldi menyimpulkan, dengan mempertimbangkan fakta di atas, dalam proses tahapan perencanaan UU 3/2025, telah terdapat cacat prosedur dalam proses perubahan Prolegnas dengan memuat Rancangan UU Perubahan UU TNI.
Pada tahap pembahasan, Saldi menyatakan proses pembahasan revisi UU TNI berlangsung sangat singkat. Lini masa proses pembahasan aturan tersebut, dari pembicaraan tingkat I hingga pengesahan, hanya berlangsung dalam kurun 10 hari. Rapat dan sidang yang diselenggarakan untuk membahas rancangan undang-undang tersebut memang dinyatakan terbuka untuk umum dan disiarkan melalui kanal resmi media sosial. Namun, Saldi menemukan ketiadaan bukti meyakinkan mengenai keterbukaan akses dokumen-dokumen terkait pembahasan UU 3/2025 dalam tahapan tersebut. Dokumen seperti Naskah Akademik, draf Rancangan Undang-Undang, maupun Daftar Inventarisasi Masalah (DIM) tidak mudah diakses. Dengan pertimbangan tersebut, Saldi berpendapat bahwa Mahkamah semestinya mengabulkan permohonan Pemohon. Ia menyatakan proses pembentukan revisi UU TNI mengandung cacat (formil) prosedural dan secara bersyarat harus memperbaiki proses pembentukannya, serta memberikan kesempatan bagi masyarakat untuk berpartisipasi secara bermakna. Untuk itu, ia mensyaratkan waktu paling lama dua tahun bagi pembentuk undang-undang untuk memperbaiki proses yang cacat formil tersebut. Dengan pemberian waktu perbaikan ini, permohonan para Pemohon dinyatakan beralasan menurut hukum untuk sebagian.

Bagaimana Hakim Enny Nurbaningsih Mengkritik Partisipasi Publik dalam Revisi UU TNI?
Hakim Enny Nurbaningsih menyatakan revisi UU TNI memang perlu dilakukan, termasuk terkait pengaturan usia pensiun bagi TNI, sesuai Putusan MK Nomor 62/PUU-XIX/2021. Namun, Enny menekankan pentingnya asas keterbukaan dalam pembahasan revisi UU TNI tersebut. Ia menemukan proses pembahasan tingkat I revisi UU TNI berlangsung sangat cepat dengan minimnya partisipasi publik. Enny juga mempersoalkan kesulitan akses draf revisi UU TNI oleh publik. Kondisi ini mengakibatkan ketiadaan jaminan pemenuhan hak publik dalam berpartisipasi bermakna (meaningful participation). Enny menyatakan ketiadaan ruang memadai untuk partisipasi publik selama masa Pembahasan Tingkat I (13 Maret-19 Maret 2025) serta sulitnya draf RUU TNI diakses menyebabkan tidak terpenuhinya hak masyarakat. Dengan demikian, Enny menyatakan UU TNI harus dinyatakan konstitusional bersyarat. Untuk mentaati seluruh prosedur atau tata cara pembentukan UU TNI, perlu dilakukan perbaikan prosedur dalam jangka waktu dua tahun sejak putusan ini diucapkan. Untuk informasi lebih lanjut mengenai tata cara legislasi yang partisipatif, HIMBAUAN perkembangan-hukum-tni dapat memberikan wawasan tambahan.

Apa Argumentasi Hakim Arsul Sani Terhadap Proses Legislasi UU TNI?
Hakim Arsul Sani juga menyoroti fakta bahwa revisi UU TNI tidak dibahas pada sisa periode DPR tahun 2019-2024. Pembahasan diserahkan kepada DPR periode selanjutnya (2024-2029). Pada saat penyusunan Prolegnas Jangka Menengah 2025-2029, revisi UU TNI dimasukkan kembali sebagai salah satu RUU yang akan dibahas DPR periode 2024-2029. Namun, Arsul Sani menyatakan, DPR dan pemerintah tidak memasukkan revisi UU TNI tersebut ke dalam Prolegnas Prioritas untuk tahun 2025. Dalam Rapat Paripurna DPR pada 18 Februari 2025, terjadi perubahan, yaitu adanya kesepakatan untuk menjadikan revisi UU TNI sebagai Prolegnas Prioritas tahun 2025. Dalam persidangan di MK, DPR menyatakan pertimbangan untuk merevisi UU TNI adalah menindaklanjuti Putusan MK Nomor 62/PUU-XIX/2021.
Menurut Arsul Sani, seharusnya DPR terlebih dahulu mengubah daftar Prolegnas Prioritas 2025 sebelum memulai proses pembahasan revisi UU TNI. Selain itu, Arsul juga menyoroti kesulitan publik dalam mengakses draf, naskah akademik, serta informasi lainnya terkait revisi UU TNI. Arsul menekankan bahwa DPR, sebagai pembentuk undang-undang, semestinya mengelola laman yang memuat proses legislasi secara jelas dan disampaikan kepada publik secara terbuka. Berdasarkan pandangan tersebut, Arsul menilai terdapat kekurangan pemenuhan prosedur legislasi dan hambatan akses masyarakat untuk berpartisipasi secara bermakna dalam proses legislasi revisi UU TNI. Namun, Arsul melanjutkan, kedua hal tersebut tidak serta-merta memutuskan bahwa proses pembentukan UU TNI bertentangan dengan UUD 1945 dan UU TNI yang dihasilkan menjadi tidak berlaku mengikat. Arsul berpendapat karena adanya kekurangan pemenuhan prosedur dalam proses legislasi dan keterhambatan masyarakat untuk berpartisipasi secara bermakna, pembentuk undang-undang perlu melakukan perbaikan proses legislasi atas UU 3/2025 dalam jangka waktu yang reasonable, yakni dua tahun. Oleh karena itu, permohonan para Pemohon dapat dikabulkan hanya untuk sebagian, tidak sebagaimana yang dimohonkan oleh para Pemohon.
Meskipun ada empat Hakim Konstitusi yang menyatakan beda pendapat dengan argumentasi kuat yang menyoroti kelemahan prosedural, permohonan uji formil tersebut akhirnya dinyatakan ditolak. Penolakan ini terjadi karena mayoritas Hakim Konstitusi, yang berjumlah lima orang, menilai permohonan tersebut layak ditolak. Kelima Hakim yang berpendapat serupa adalah Arief Hidayat, Anwar Usman, Guntur Hamzah, Daniel Yusmic, dan Ridwan Mansyur.
Tags: Headline, Featured, Hukum, Politik, Mahkamah Konstitusi, UU TNI, Uji Formil, Dissenting Opinion, Suhartoyo, Saldi Isra, Enny Nurbaningsih, Arsul Sani, Legislasi, Partisipasi Publik, Asas Keterbukaan, Konstitusional Bersyarat, Prolegnas, Revisi Undang-Undang
Category: Politik Hukum Nasional


